Pelanggaran Etika Pejabat Publik Korupsi Bupati Probolinggo Puput Tantriana - Info Kepri -->
Trending News
Loading...

Pelanggaran Etika Pejabat Publik Korupsi Bupati Probolinggo Puput Tantriana

 Penulis : Erika Abia, Detia Indrianti, Fadilla Chesiana, Larasati Puspita Dewi
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia


Pelanggaran Etika Pejabat Publik Korupsi Bupati Probolinggo Puput Tantriana
Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana (Kiri) Bersama Suaminya mantan anggota DPR Hasan Aminuddin Mengenakan Rompi Tahanan KPK Saat Diamankan KPK (Fhoto : Ist)

Berbagai kasus korupsi kerap dilakukan pada sektor manapun dan pihak manapun, tidak terkecuali oleh para pejabat publik.  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus gencar memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Seperti baru-baru ini KPK mengamankan Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana dan suaminya, mantan anggota DPR Hasan Aminuddin serta beberapa pihak lainnya terkait kasus suap jual beli jabatan.

Tim KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Puput Tantriana, Hasan Aminudin, serta beberapa pihak lainnya yang terlibat pada Senin (30/8/2021) lalu.

KPK menahan 19 orang serta menetapkan 22 orang sebagai tersangka dengan dugaan 18 orang sebagai pihak pemberi dan 4 orang sebagai penerima (nasional.sindonews.com, 2021).  

Para pemberi diduga telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999, sedangkan para penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 (Hantoro, 2021).

Perilaku Melanggar Etika oleh Bupati Nonaktif Probolinggo Puput Tantriana dan Urgensi Etika Pejabat Publik

Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Bupati Probolinggo Puput Tantriana memberlakukan tarif jabatan penjabat kepala desa di Probolinggo. Dilansir detik.com Selasa (31/8/2021), setiap ASN yang ingin duduk diposisi tersebut akan diminta uang sebesar Rp20 juta ditambah upeti tanah kas desa dengan tariff  Rp 5 juta per hektar. 

Hal ini menjadi cerminan bahwasanya Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) demi memperkaya dan menguntungkan dirinya. Dilansir dari dpr.go.id (2021) standar etika pejabat publik terdiri dari:
1.    Patuh pada ajaran agama;  
2.    Patuh pada sumpah-janji;  
3.    Patuh pada peraturan perundang-undangan;  
4.    Perilaku sebagai patron bawahan dan masyarakat;  
5.    Selalu bersikap dan berkata jujur;  
6.    Berwatak sebagai pelayan dan penerang masyarakat;  
7.    Bersikap sebagai integrator sosial.

Berdasarkan standar etika pejabat publik di atas, sudah jelas bahwa Puput Tantriana ini menyelewengkan kekuasaannya dan melanggar standar etika pejabat publik. Etika bagi para pejabat publik sudah seharusnya menjadi dasar atau landasan dalam bertindak, berperilaku, serta melayani seluruh masyarakat dengan baik dan penuh tanggung jawab. 

Pejabat publik atau para pemimpin akan menjadi contoh atau patron yang akan menjadi teladan banyak orang mulai dari bawahan hingga masyarakat dalam berkelakuan dan bertindak. 

Berkaca dari kasus korupsi pada kasus ini, Bupati nonaktif  Puput Tantriana sudah tidak lagi dinilai sebagai sosok pemimpin yang bisa dijadikan panutan atau contoh yang baik.  Kemudian, fakta bahwa adanya penggunaan uang masyarakat yang menuntut pejabat publik harus memberikan yang terbaik pula kepada masyarakat. Namun, Puput Tantriana tidak memegang teguh amanah dari masyarakat sebagai Bupati Probolinggo.

Selanjutnya, pejabat publik mampu meningkatkan kepercayaan publik (public trust) yang menjadikan jabatannya lebih efektif. Lain halnya yang dilakukan Bupati Nonaktif Puput Tantriana dalam kasus ini, ia terbukti melanggar Peraturan Perundang-Undangan serta tidak berperilaku jujur dengan menerima suap jual-beli jabatan, gratifikasi, serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait seleksi jabatan di Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun 2021 yang akan menurunkan kepercayaan publik akan seorang pejabat publik dalam menjalankan tugas dan mengemban wewenangnya. Secara otomatis, pelanggaran sumpah jabatan juga terjadi demi kepentingan pribadi.

Faktor Penyebab Bupati Nonaktif Probolinggo Puput Tantriana Melakukan Korupsi

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi di tingkat Pemerintah Daerah marak terjadi lantaran sistem pengawasan pusat yang belum optimal (kabar24bisnis.com, 2018). Selain itu,  Herman Nurcahyadi Suparman, salah satu Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menambahkan bahwa kurangnya integritas yang dimiliki oleh para pejabat publik juga merupakan faktor penyebab maraknya jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah (kppod.org, 2021).

Adanya kemunduran agenda Pilkades juga menciptakan celah terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme bagi para ASN terpilih dengan kepada daerah yang berwenang dalam mengisi kekosongan kursi jabatan kepala desa (Hantoro, 2021). 

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) dan (3) bahwa apabila terjadi penundaan pemilihan kepala desa, ASN dipilih sebagai penjabat sementara oleh kepala daerah yang berwenang. Tindakan korupsi tidak akan terjadi apabila para pelaku tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan luar biasa tersebut, meskipun terdapat celah atau peluang untuk melakukannya. Dengan kata lain, perbuatan korupsi tidak terlepas dari lemahnya integritas para pejabat publik dalam mempertahankan etika dan norma yang berlaku. Pada kasus jual beli jabatan oleh Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana dengan pihak terkait, integritas menjadi salah satu permasalahan yang mendasari kedua belah pihak dalam melakukan praktik korupsi. Integritas merupakan kunci kesuksesan penyelenggaraan negara yang terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Potensi Terbentuknya Dinasti Politik oleh Bupati Nonaktif Probolinggo Puput Tantriana

Kasus korupsi Bupati Probolinggo semakin menguak indikasi praktek dinasti politik di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo. Kasus yang melibatkan sepasang suami istri Puput Tantriana dan Hasan Aminudin tersebut merupakan gambaran nyata dari aktivitas politik yang melibatkan hubungan keluarga. Keduanya bekerja sama untuk meraup keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya. Kasus jual beli jabatan oleh Bupati Puput Tantriana, Hasan Aminudin, serta rekan lainnya membuka celah adanya oligarki di lingkungan Pemkab Probolinggo. Selain itu, tindakan tersebut juga mengabaikan sistem meritokrasi dalam menentukan calon Kepala Desa yang akan menjadi pemimpin nantinya. Hal ini tentu berpotensi memperluas ruang para pejabat publik untuk melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme kedepannya.

Dampak Korupsi bagi Lingkungan Administrasi Publik

Korupsi berpotensi mencelakakan standar moral dan intelektual masyarakat (Setiadi, 2018). Apabila itu terjadi di lingkungan administrasi publik, maka kepentingan dan kebutuhan masyarakat akan sulit terpenuhi karena para aparatur negara cenderung mementingkan kepentingan pribadinya. Selain itu, maraknya kasus korupsi di lingkungan administrasi publik juga dapat memberikan eksternalitas negatif dalam jangka panjang. Kasus korupsi yang kian merajalela dapat menimbulkan persepsi normalisasi di lingkungan masyarakat sehingga menganggap bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu “budaya” dalam  administrasi publik.

Korupsi dapat melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara. Masyarakat akan beranggapan bahwa pemerintah tidak mampu mengemban tugasnya dalam mengakomodasi kepentingan publik. Kepercayaan publik merupakan salah satu komponen kesuksesan penyelenggaraan pelayanan publik. Minimnya kepercayaan publik juga akan mempengaruhi minat masyarakat dalam berpartisipasi disetiap kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah. Apabila masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah, maka program-program yang dibentuk akan sulit terealisasi.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel