Monyet, Beruk, dan Kita: Menukar Masa Depan dengan Rupiah - Info Kepri .post-body img { display: block; margin: 0 auto; max-width: 100%; height: auto; } -->

Monyet, Beruk, dan Kita: Menukar Masa Depan dengan Rupiah

Monyet berekor panjang mengobok-obok kantong sampah untuk mencari makanan. (Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia) 

Penulis : Teddy Fiktorius (Guru SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat)

Bayangkan pagi hari di sebuah perempatan kota kecil. Seekor monyet ekor panjang (MEP) duduk di trotoar, menatap kendaraan yang lalu lalang. Sebagian orang memberi kacang, sebagian lagi menertawakan tingkahnya, ada juga yang merasa terganggu. 

Adegan sederhana ini sesungguhnya adalah alarm keras! Kita sedang berada di persimpangan antara menyelamatkan atau kehilangan satwa yang seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia.

Di balik wajah lucu MEP (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina), tersimpan kisah getir. Mereka kerap dijadikan hiburan murahan di jalanan, dipelihara sebagai satwa eksotis, hingga dijual untuk laboratorium biomedis di luar negeri.

Semua ini menunjukkan betapa murahnya kita menukar hutan dan kehidupan liar dengan rupiah. Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Potret Buram Perdagangan dan Eksploitasi

Penelitian mencatat, setiap tahun ribuan ekor MEP diperdagangkan secara ilegal, baik di pasar satwa domestik maupun dikirim ke luar negeri (Nijman et al., 2022). Mereka ditumpuk dalam kandang sempit, dipaksa berpisah dari kelompok sosialnya, dan menghadapi trauma panjang.

Beruk pun tidak kalah menderita. Dalam banyak kasus di Sumatra dan Kalimantan, mereka dijadikan “pekerja” untuk memetik kelapa. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap tradisi unik. Padahal, di balik eksotisme itu, terdapat rantai panjang kekerasan, yakni dari proses pelatihan yang penuh kekerasan, pemeliharaan dengan rantai besi, hingga risiko cedera serius!

Eksploitasi juga hadir dalam bentuk hiburan. Pertunjukan “topeng monyet” yang dulu marak di perkotaan adalah contoh nyata. Anak-anak tertawa, orang dewasa melempar koin, sementara di balik topeng dan gerakan lucu, ada luka yang tak terlihat. Penyiksaan menjadi bagian dari proses “melatih” monyet agar mau berperilaku seperti manusia.

Konflik Manusia-Macaca: Kita Lawan Mereka?

MEP dikenal cerdas dan adaptif. Sayangnya, kecerdasan ini justru menimbulkan konflik dengan manusia. Mereka menyerbu kebun buah, mencuri makanan di dapur, bahkan masuk ke rumah-rumah. Bagi petani, kehadiran mereka berarti kerugian ekonomi. Bagi warga kota, mereka dianggap pengganggu.

Reaksi manusia sering ekstrem. Dari mengusir dengan kekerasan, meracun, hingga membunuh. Namun, siapa sebenarnya yang salah? 

Ketika hutan yang menjadi rumah mereka berubah menjadi jalan raya, perumahan, atau perkebunan sawit, MEP hanya beradaptasi agar bisa bertahan hidup. Konflik ini bukan tentang monyet melawan manusia, melainkan tentang manusia melawan keserakahannya sendiri!

Ancaman Kesehatan: Risiko yang Kita Ciptakan Sendiri

Kedekatan paksa antara manusia dan monyet membuka peluang penyebaran penyakit. Penelitian membuktikan beberapa jenis herpes, tuberkulosis, hingga parasit bisa berpindah dari monyet ke manusia (Patouillat et al., 2024).

Kita sering lupa bahwa pandemi global baru-baru ini muncul akibat interaksi berlebihan manusia dengan satwa liar. Jika perdagangan monyet tidak dihentikan, potensi munculnya penyakit baru hanya tinggal menunggu waktu. Dalam istilah sederhana, saat kita memperjualbelikan monyet, kita sebenarnya sedang memperdagangkan bom waktu biologis!

Harapan: Dari Trauma ke Transformasi

Indonesia punya peluang besar untuk membalikkan situasi. Caranya sederhana tapi menuntut keberanian,  yakni mengubah cara pandang. Dari melihat MEP dan beruk sebagai hama atau hiburan murahan, menjadi melihat mereka sebagai satwa penting yang menjaga keseimbangan ekosistem.

Di Thailand, misalnya, kawasan tertentu menjadikan koloni monyet sebagai daya tarik wisata edukatif. Wisatawan datang, ekonomi lokal tumbuh, dan monyet tetap terlindungi. Model serupa bisa dikembangkan di Indonesia, tentu dengan pendekatan ramah lingkungan dan berbasis kesejahteraan satwa.

Jika negara tetangga bisa, kenapa kita tidak?!

Solusi Kreatif dan Berkelanjutan

Solusi tidak berhenti pada penegakan hukum dan edukasi publik. Kita juga perlu mengembangkan strategi konservasi berbasis komunitas, di mana masyarakat lokal diberdayakan untuk menjadi pengawas hutan dan mentor bagi wisata edukatif primata. Pendekatan ini menggabungkan pengetahuan lokal dengan teknologi modern, sehingga setiap pergerakan monyet dan beruk bisa dipantau tanpa menimbulkan konflik dengan manusia.

Selain itu, program rehabilitasi harus mengintegrasikan terapi perilaku, memberi hewan waktu untuk pulih dari trauma fisik dan psikologis, sebelum dikembalikan ke habitat asli. Suaka/tempat perlindungan perlu dibangun lebih luas, bukan sekadar menampung hewan, tapi menjadi pusat edukasi dan penelitian konservasi. 

Dana untuk ini bisa berasal dari denda pelanggar, skema internasional payment for ecosystem services (mekanisme di mana pihak yang mendapatkan manfaat dari ekosistem membayar pihak yang menjaga atau memelihara ekosistem tersebut) hingga corporate social responsibility (tindakan yang dilakukan perusahaan untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat).

Teknologi bisa menjadi pengubah permainan (game-changer). Kamera jebak, sensor satelit, dan DNA lingkungan (eDNA) dapat memberikan data akurat tentang populasi primata, jalur migrasi, dan titik konflik. Informasi ini memungkinkan pemerintah, LSM, dan masyarakat mengambil keputusan berbasis bukti, bukan asumsi.

Pendidikan publik juga harus ditingkatkan. Jika anak-anak belajar sejak dini bahwa monyet dan beruk adalah mitra ekologi yang membantu menyebarkan biji, menjaga regenerasi hutan, dan menjaga keseimbangan ekosistem, maka masyarakat masa depan akan menghargai keberadaan mereka. Budaya menghormati satwa bisa tumbuh bersamaan dengan literasi ekologis.

Proyeksi Masa Depan: Dari Citra Buruk ke Ikon Bangsa
Bayangkan tahun 2045, Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negeri dengan hutan tropis, tetapi juga sebagai negara pelopor konservasi primata Asia Tenggara. Di sana, anak-anak sekolah belajar langsung tentang pentingnya peran monyet dalam regenerasi hutan.

Wisatawan asing berkunjung ke Kalimantan untuk menyaksikan MEP di habitat alaminya, bukan di kandang sempit. Ekonomi lokal bergerak dari sektor berbasis perusakan menjadi sektor berbasis pelestarian. ASEAN bahkan mengadopsi protokol bersama untuk mencegah perdagangan lintas negara. Indonesia berdiri di garda depan, bukan hanya sebagai pemasok, tetapi sebagai negara pelindung!

Lebih jauh lagi, model ini bisa diperluas dengan sistem berbasis digital yang memantau populasi satwa secara real-time, memetakan konflik, dan memberi insentif ekonomi bagi komunitas yang berhasil menjaga habitat. Dengan begitu, konservasi bukan lagi biaya, tapi investasi jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat.

Mengapa Kita Harus Peduli?

Ada tiga alasan sederhana. Pertama, secara ekologis, tanpa MEP dan beruk, regenerasi hutan terganggu. Mereka adalah penyebar biji alami yang membantu menjaga keanekaragaman hayati. Kedua, secara kesehatan, eksploitasi satwa liar meningkatkan risiko munculnya penyakit baru. Ketiga, secara moral dan budaya, cara kita memperlakukan satwa mencerminkan siapa kita sebagai manusia.

Setiap monyet yang dijual atau dipaksa berperilaku adalah pengingat nyata bahwa pilihan kita membentuk masa depan!

Aktivis di Jawa Barat pernah menyelamatkan seekor MEP yang ditinggalkan di kandang sempit. Setelah bertahun-tahun trauma, ia akhirnya bisa kembali ke hutan. Saat pintu kandang dibuka, monyet itu menatap langit seakan tidak percaya kebebasan benar-benar ada. Adegan ini sederhana tapi menusuk! Bukankah kebebasan adalah hak semua makhluk?

Penutup: Persimpangan Itu Ada di Depan Kita

Monyet ekor panjang dan beruk bukan sekadar satwa liar. Mereka adalah cermin pilihan moral kita. Apakah kita akan terus membiarkan mereka jadi korban perdagangan, hiburan murahan, dan konflik tanpa akhir? Atau kita berani berubah, menjadikan mereka bagian dari masa depan yang lebih beradab?

Jika kita gagal, suatu hari anak cucu kita hanya akan mengenal mereka lewat foto atau dongeng. Tapi jika kita berhasil, Indonesia bisa berdiri tegak dengan bangga karena mampu menjaga warisan hidup yang unik ini.

Menyelamatkan monyet berarti menyelamatkan hutan, menyelamatkan kesehatan, dan pada akhirnya menyelamatkan diri kita sendiri! Kalau tidak dimulai dari kita, lantas siapa lagi?



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel